Saturday, December 12, 2009

Realita Sosial (Seorang Pengemis)

Ketika melihat seorang pengemis yang meminta-minta dijalan, entah kenapa perasaan saya selalu iba kepada mereka. Padahal sekilas terlintas juga dalam benak saya bagaimana gambaran sisi lain dari pengemis yang ada dihadapan saya tersebut.

Mungkin banyak alasan bagi mereka untuk memilih menjalani kehidupannya dengan cara meminta-minta seperti demikian. Faktor kondisi ekonomi, lapangan kerja yang sulit, keluarga, maupun lingkungan yang biasanya  terekam dalam pikiran kita mengapa mereka mau menjadi seorang pengemis.

Teringat cerita seorang teman yang hendak pulang mudik ke kampung halamannya di Cirebon. Perjalanan yang ia lalui dengan menggunakan  kerete api tersebut  memiliki kenangan yang cukup mencengangkan. Bagaimana tidak, seorang pengemis di kereta yang baru saja ia kasih uang, terlihat oleh mata kepalanya sendiri sedang menelepon seseorang dengan handphone yang ada digenggaman tangannya.


Begitu histerisnya dia ketika melihat sang pengemis yang sedang berhandphone ria. Dan begitu pun dengan saya yang terkejut mendengar ceritanya karena memang pada saat itu kita sedang dilanda krisis handphone (sering rusak disaat yang dibutuhkan).

Memang sebelumnya pun, pernah juga saya mendengar bahwa ada sebagian para pengemis yang dikordinir untuk mencari uang dan nantinya mereka akan menyetorkan sebagai ganti dari upah tinggal dan makan sehari-hari selama mereka ditampung disebuah penampungan,

Pada pagi hari para pengemis itu akan diantar dan ditempatkan ditempat yang strategis (menghasilkan banyak uang), sedangkan nanti pada sore hari mereka akan dijemput menuju ke penampungan. Sungguh ironis sekali bagi mereka yang memanfaatkan pengemis untuk dapat mencari keuntungan dan penghasilan.

Lalu sebuah berita yang ditayangkan di televisi pun kembali menyoroti realita tentang kehidupan pengemis di sebuah perkampungan daerah pulau Madura. Sebuah kampung yang dibangun dengan rumah-rumah yang cukup mewah bila kita mengetahui pemiliknya berprofesi sebagai seorang pengemis di Jakarta. Ini membuktikan bahwa dugaan kita terhadap pengemis yang terlihat melarat ternyata hidup amat sangat layak.

Beberapa minggu yang lalu dalam acara Uya Memang Kuya yang ditayangkan oleh SCTV. Seorang ibu yang mengemis diatas jembatan Busway mengaku (dalam keadaan dihipnotis) pendapatannya mencapai 2oo ribu rupiah per hari. Ia pun mengaku sering berbelanja baju, tas, sepatu bersama suami dan anak-anaknya.

Bahkan anak kecil yang ia bawa adalah anak yang ia sewa perhari. Mana tega seorang ibu mengajak anaknya berpanas-panas mencari uang bersama dirinya. Pada bulan puasa pun ia bisa mengantongi uang dalam jumlah 8 juta perbulan. Angka yang sangat fantastis.

Hal inilah yang membuat rasa kasihan terselimuti rasa kesal. Saya terkadang berfikir sampai beberapa kali untuk memberikan uang kepada seorang pengemis. Bila memang hati saya terketuk untuk memberikan barulah saya akan memberikannya.

Namun saya mencoba untuk dapat mengalihkan rasa iba itu kepada tempatnya. Sampai pernah saya marah bertemu pengemis karena melihat seorang bapak-bapak tua dengan lesuhnya menjual sekantong tissue disebuah stasiun kereta. Rasa ingin menangis melihatnya, betapa terlihat beratnya beban yang ia panggul dalam pundaknya tetapi ia tetap tegar dengan tissue yang dijualnya.

2 comments:

  1. mantap sur,,itu gw tw cerita'a siapa..hhe

    ReplyDelete
  2. ehemm,, ehemm,,
    iyalah ,,.. itu kan cerita giring pulang kampung..
    hahahha

    ReplyDelete